Minggu, 06 Januari 2013

Episode Langit Buram

Angin berhembus lembut membelai wajahku. Kutatap langit yang masih kelabu. Kesejukan embun dan kicauan burung merdu ikut mewarnai indahnya pagi. Aku segera ke dapur untuk mencuci piring dan membereskan ruangan yang berantakan itu. Seketika itupun ayah memanggilku dengan nada keras hingga terdengar oleh tetanggaku. Merekapun ikut memanggil agar aku cepat menuju ayah. Ayah menyuruh untuk mengisi bak mandi. Satu pekerjaan belum usai pekerjaan yang lain menunggu untuk segera disentuh itu sebabnya ayah memanggilku.
Ayah, sosok laki-laki dengan tipe keras.
Keras saat berkata maupun bersikap namun tegas. Di rumah aku menggantikan posisi ibu dalam keluargaku. Membersihkan rumah, mengisi bak mandi dengan air sumur menggunakan timba, mencuci piring, mencuci pakaian adik perempuanku menjadi pekerjaan rutin. Ya, pekerjaan rutin yang biasanya dikerjakan oleh seorang ibu rumah tangga.
Ah, aku teringat sosok ibu seorang yang kurindukan, yang jauh di sana. Di Arab Saudi.  Berjuang melawan ombak kekerasan majikannya. Ia dikabarkan meninggal dunia karena gantung diri. Namun aku dan keluargaku tetap tidak percaya karena surat yang dikirim oleh majikannya seperti surat ilegal. Palsu! Tanpa ada bukti ibu meninggal gantung diri. Aku tak akan habis pikir dan tidak akan pernah percaya ibuku seperti itu. Aku yakin ibu orangnya baik. Ia paham agama dan syariat. Tak mungkin ia berani gantung diri, salah satu perbuatan yang Allah murkai.
Aku percaya dengan kontak batin. Bila memang ibu telah tiada, tentu ada bisikan hatiku sebagai pertanda. Tapi sungguh, aku merasa ia masih bernafas saat nafas kuhembuskan. Aku percaya, masih ada getar degupan jantungnya. Setiap orang yang mengetuk pintu, berharap ibu yang berada di luar sana. Setiap aku bangun, berharap mata ini terbuka dengan langsung meliat sosoknya. Aku tetap menunggunya hingga saat ini. Kidung doa tak pernah kulalaikan usai sholat, hujan, hari jumat, dan antara adzan dan iqomah. Aku sengaja memilih waktu-waktu terijabahnya doa.
Tak peduli bagaimana rupa ibu sekarang. Tak peduli apapun yang ia bawa. Aku tak lagi mengharapkan uang darinya. Hal terpenting ia kembali ke keluargaku. Harapan itu terus bergema dengan sebongkah keyakinan bahwa ibu pasti pulang suatu saat nanti. Namun ketakutanku semakin menjadi saat terngiang dalam benak bila nanti Allah memanggilku lebih dulu, menghadap-Nya. Aku takut bila tak bertemu dengan ibu kembali. Terakhir bertemu dengannya saat kenaikan kelas ke kelas 2 SMP. Di saat itupula aku harus memaksa rela berpisah dengannya. Aku ingat betul saat ia melambaikan tangan perpisahan.
Oh Ibu... kau bilang ingin satu tahun di sana tapi sampai 4 tahunpun kau tak kunjung pulang... Terakhir suaranya kudengar via HP saat pulang sekolah kelas X SMA, suaranya dengan volume kecil, lebih tepatnya seperti orang berbisik.  Seperti penuh ketakutan bila ketahuan oleh majikannya. Ia titip pesan agar tetap belajar, menjaga adik dengan baik dan beliau menyuruhku agar tidak mengkhawatirkannya. Tapi bagamana mungkin aku dan ayah tidak khawatir bila seperti ini?
Aku pernah ditanya oleh salah satu teman dekatku, “Mengapa ibumu yang pergi bukan ayahmu?.” Lalu aku hanya menjawab, “Ibu yang meminta agar ia yang bekerja di Arab Saudi, ayah melarang tapi ibu hanya minta itu saja, jadi ayah mengizinkan dengan berat hati.” Temanku lalu hanya mengangguk tanda mengerti.
Banyak yang mengerti dan banyak pula yang tidak mengerti perihal pekerjaan sebagai TKI atau TKW. Aku tidak tahu apa yang ada di kepala mereka, mereka yang banyak meremehkan dan menganggap sebagai pekerjaan yang “ndak banget”. Aku tidak suka orang seperti itu. Para TKI dan TKW telah berbuat suatu yang bermanfaat dan mulia, suatu pekerjaan dengan perjuangan lebih dan rela berpisah dengan keluarganya. Ia pergi berarti telah siap dengan bentakan, kekerasan, kekejian dan perbuatan-perbuatan jahat lainnya yang sering kita saksikan di layar televisi. Jangan salah TKI dan TKW mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat di suatu negara karena ia dapat meningkatkan devisa negara. Apa ada yang janggal dan keliru dari mereka sehingga harus dianggap remeh dan rendah?
Aku dan keluargaku hidup sederhana namun bahagia. Setiap hari selalu ada bunga tawa dari adik untukku dan ayah. Kami sudah terbiasa hidup tanpa ibu. Ditinggal sejak kelas 2 SMP dan adikku berumur 2 tahun membuatku tetap tegar. Namun di balik ketegaran dan senyumku aku sebenarnya rapuh. Hanya Allah yang mengetahui semuanya. Aku hanya tak ingin menambah kesedihan mereka ditinggal ibu dengan melihatku bersedih. Kujalani hidup semampuku karena aku yakin Allah memberikan ujian bukan di luar batas kemampuanku.
Ayah seorang honorer di sekolah dasar dekat dengan rumahku, sedangkan aku sebagai siswi kelas 3 SMA. Aku dan ayah membuka les private di rumah. Ayah membuka les dari 14:00-16:00 WITA untuk 5 siswa SD sedangkan aku dari 19:00-21:00 WITA untuk 3 siswa kelas VII SMP dan 5 siswa kelas X SMA. Kami hidup dengan upah kursus yang tak seberapa. Adik yang masih TK sering ikut les dan bahkan sering mengganggu siswa-siswa yang sedang belajar. Sehingga tak heran ia dikenal nakal namun ia bisa menghafal perkalian 1 sampai 10, bisa menulis nama-nama benda dan memiliki kemampuan membaca yang setara dengan anak kelas 2 sekolah dasar.
Tak terasa kini semester dua. Mendekati ujian nasional SMA membuatku tersadar dan mulai kebingungan bagaimana mengatur waktu. Bagaimana mungkin aku bisa menyelesaikan pekerjaan rumah sebanyak itu sementara aku harus les setiap hari untuk mempersiapkan ujian. Satu minggu tetap melakukan pekerjaan rutinku, tetap mengisi les adik-adik SMP dan SMA waktu malam hari dan akhirnya aku jatuh sakit. Sementara 3 minggu lagi aku ujian nasional. Sakit maag yang kuderita saat ini lebih parah dari sakit maag sebelumnya. Aku merasa perutku diremas-remas. Aku terpaksa diopname di salah satu rumah sakit terdekat.
Aku tak merasa sedih dengan sakit ini namun aku haru saat begitu banyak yang datang mengunjungiku. Kulihat ayah dengan setianya menungguku di rumah sakit ini, dik manis yang selalu riang di dekatku, keluargaku, tetanggaku, guru-guruku, teman-teman sekolahku dan adik-adik les yang memotivasiku untuk sembuh. Ah, inilah arti persaudaraan, saat saudara yang satu merasakan sakit maka yang lain ikut merasakan. Bagai tubuh manusia, saat satu organ yang terluka maka yang lain ikut merasakan sakit, saat kaki tersandung dengan cepat mulut mengatakan “astagfirullah atau aduh”.
Aku bersyukur telah mendapat dispensasi dari sekolah tidak mengikuti pembelajaran selama 2 minggu sehingga aku tetap bisa mengikuti ujian nasional meski dalam keadaan masih sakit. Biaya les dan sekolahku gratis karena beasiswa yang kudapatkan dari sana. Jadi aku tidak terlalu memusingkan biaya ketika sekolah di SMA.
Jauh sebelum ujian nasional aku telah memikirkan mau melanjutkan kuliah kemana. Aku ingin ke perguruan tinggi impianku seperti yang kutulis dalam diary. Ada empat jalur yaitu jalur SNMPTN undangan, SNMPTN tulis, SMUD dan mandiri. Aku mengikuti SNMPTN Undangan yang pengumumannya pada 28 Mei 2012 namun gagal dan harus bersyukur karena rencana Allah pasti yang terbaik untukku. UN (Ujian Nasional) dilaksanakan pada 16-19 April 2012 dan pengumuman telah usai pada 24 Mei 2012. Aku lulus UN dan mencoba lagi masuk jalur tulis. Ujiannya dilaksanakan 2 hari yaitu pada 12-13 Juni 2012 dan pengumuman pada 7 Juli 2012. Jalur ini membuatku deg-degan saat membuka situs pengumuman dan alhamdulillah aku lulus di Universitas Mataram, universitas dambaanku. Aku lulus di FMIPA program study matematika.
Tiada daya dan upaya hanya kepadamu aku kembali. Terimaksih ya Allah, syukurku pada-Mu takkan terhenti karena puisi-Mu begitu indah pada saatnya. Tuntun aku agar terus mendekati-Mu dan takkan pernah berbalik arah menjauhi-Mu. Keep istiqomah!
            Tidak ada sedikitpun masalah yang menjadi beban saat aku masuk perguruan tinggi namun yang kutakutkan adalah biaya saat kuliah. Daftar ulang untuk prodiu adalah Rp 1.030.000, sedangkan tabungan ayahku belum mencapai itu. Akhirnya terpaksa ia minjam di paman.
Aku mulai berpikir apa yang bisa aku lakukan untuk meringankan beban ayah dan aku tetap kuliah. Aku yakin ketika kita berniat untuk menuntut ilmu yang merupakan anjuran Allah, ketika kita mempelajari ilmu yang merupakan cahaya-Nya, ketika kita meneguhkan agama-Nya dengan menuntut ilmu maka Allah akan meneguhkan kedudukan kita pula. Aku yakin itu. Aku mulai semangat kembali sembari memikirkan untuk memperluas jaringan les karena hanya les andalanku. Akupun mulai membuka kelas baru lagi untuk 2 siswa SMP yang berminat. Dengan jadwal yang full dari senin hingga senin lagi. Malam hari selalu dipakai untuk les sampai jam 9 membuatku sakit kembali. Kini sakitku tak berbeda jauh dengan sebelumnya. Maagku kambuh lagi dan akhirnya untuk sementara waktu aku liburkan adik-adik les selama seminggu.
Daftar ulang pada 10 Juli 2012 dan aku mendapat kabar bahagia bahwa UNRAM membuka kembali peluang pengajuan Bidik Misi. Aku berulang kali membaca sms dari salah satu temanku. Setelah mempersiapkan berkas yang diminta, aku langsung menemui bagian registrasi di rektorat. Allah menjawab do’aku dengan memberikan kesempatan ini lagi. Ketika masih di SMA, aku dan teman-teman mengalami kesulitan mengajukan bidik misi karena ada penggantian kepala sekolah sehingga data kepala sekolah lama di pusat belum bisa diganti dengan data kepala sekolah baru.
Allah punya rencana yang tak terduga. Kami harus tetap percaya akan janji Allah bahwa rezeki tak akan tertukar.
Usai daftar ulang, dua minggu kemudian ospek atau karisma di universitas. Aku memaksakan diri untuk ikut. Aku mulai mengukir sejarah di masa orientasi ini. Perkenalan rektor dan jajarannya hingga beberapa UKM yang ada special for maba, katanya. Karena banyak perkenalan, ospek di laksanakan 2 hari yaitu pada 27-28 Agustus 2012. Mahasiswa lebih banyak duduk yang membuat pegal, kesemutan dan gerah. Walau begitu menyenangkan juga bisa mengenal universitas sendiri apalagi baru pertama kali berkumpul dengan orang sebanyak itu, dengan ribuan mahasiswa yang bisa sampai di sana dengan perjuangan pula. Aku juga merasa senang  bertemu dengan beberapa kakak tingkat waktu SMA dan SMP. Kurasakan kembali ukhwah itu begitu erat.
Sampai pada masa orientasi di tingkat fakultas dengan nama BSO (Basic Science Orientation) yang dilaksanakan 3 hari yaitu pada 29-31 Agustus 2012. Aku teringat saat mendapat plakat penghargaan menjadi miss terkontroversial dengan baju batik cokelat yang kukenakan malam inagurasi itu. Menjadi terkontroversial, sejarah aku tak mau menjalankan hukuman skot jump waktu terlambat datang gara-gara minta tanda tangan kakak koordinator lapangan di tengah jalan raya yang lelah kucari dengan temanku.
Aku beralasan bahwa bila aku skot jump, aku takut akan keram pada betis sesuai dengan penjelasan ibu guru waktu SMA. Alasanku tak logis memang hanya disuruh lima kali kemungkinan tak akan keram dengan jumlah yang minim itu. Tapi aku tetap pada keputusanku. Aku lalu melobi kakak BEM agar memberikan hukuman yang lain. Akhirnya mereka menyuruhku lari 3 putaran mengelilingi tempat BSO yang lumayan luas dan membuatku bercucuran keringat. Ya, hukuman yang lebih berat dari skot jump. Tak hanya itu selesai lari aku  langsung disambut oleh olesan abu kayu oleh kakak BEM yang lain. Sungguh menyedihkan memang namun aku merasa di sana harus benar-benar disiplin, sabar, kuat dan bersyukur. Bersyukur dengan pembinaan karakter seperti itu. Semua adalah ladang ilmu maka tak bisa aku menolak. Penolakanku itu membuatku dikenal oleh hampir semua mahasiswa baru FMIPA dan kakak-kakak BEM.
Sebelum itu, hari terakhir BSO menjadi hari yang unik. Tanganku ditarik oleh salah satu kakak BEM yang menggunakan jilbab warna abu muda. Aku tak tahu apa salahku hingga dia benar-benar memasang wajah amarah padaku. Ya, aku lalu teringat, dia kakak yang pernah menyuruhku skot jump. Tiba-tiba kakak yang lain berdatangan dan terjadi perkelahian panjang lantaran mahasiswa baru banyak yang tidak disiplin.
Itu artinya divisi acara yang tidak bertanggungjawab menurut mereka. Saling tuntut dan saling lempar kata-kata dengan volume tinggi. Akhirnya terjadi perkelahian hingga dadaku ikut terpukul oleh salah kakak yang menyuruhku skot jump itu. Aku tak tahu apa itu benar-benar sengaja atau tidak? Tapi aku tahu perkelahian mereka hanya sebuah sandiwara belaka namun apakah dengan mengorbankanku agar menjadi kelihatan lebih serius dan seru? Seketika itupun aku jatuh pingsan lalu mereka panik luarbiasa. Aku langsung lemas dan tak bisa bicara sedikitpun dengan banjir air mata. Ah, ingat, ini hanya sandiwara. Mereka kemudian membawaku ke ruang khusus. Dengan wajah panik kakak yang memukulku memeluk dengan erat dan ikut menangis. Mungkin merasa bersalah. Aku yakin ini tak sengaja. Dan lucunya mereka mencoba menghiburku dengan gaya-gaya lucu, memeperkenalkan diri kembali di depanku, tertawa riang dan lainnya.
Kakak-kakak yang terkesan kasar ternyata begitu halus dan baik, muncullah siapa mereka di sana. Aku bersyukur lebih tahu dari teman-teman mahasiswa baru. Tak bisa dipungkiri bertemu dengan kakak yang kelihatan judes membuat mata seolah-olah enggan menatapnya dan ingin segera menghindari. Namun hati harus selalu disetting agar terhindar dari sifat seperti itu.
Itu sekelumit tetang BSO sebagai masa perkenalan di FMIPA UNRAM. Setelah melewati masa-masa itu kami mulai terjun ke dunia perkuliahan. Dunia yang berbeda dari dunia study sebelumnya. Yang dulunya menggunakan seragam, kini menggunakan pakaian yang bebas asal rapi dan sopan. Yang dulunya diajarkan oleh guru, kini diajarkan oleh seorang dosen. Yang dulunya bernama sekolah, kini kampus. Yang dulunya anak mami, kini anak kosan. Dan banyak lagi “yang dulunya-kini”.
Dinamika kampus membuatku harus pandai mencari teman, bukan untuk membatasi teman namun teman juga bisa menentukan sikap, karakter bahkan nasib atau masa depan kita. Aku bertemu dengan ribuan mahasiswa yang memiliki karakter dan kebiasaan masing-masing. Dari berbagai penjuru, berbagai agama, keluarga dan lainnya. Heterogen sebutannya. Aku bertemu dengan ribuan mahasiswi dari yang jilbaber sampai yang you can see. Dari memakai rok hingga memakai jeans ketat. Bertemu dengan mahasisiwa dengan gaya rambut berdiri sampai yang di belah dua, berpakaian kaos berkerah sampai kemeja berkerah. Semua ada.
Aku bergabung di kumpulan mahasiswa program study matematika yaitu Gamatika (keluarga matematika) di bagian kerohanian dan di MT (Majelis Ta’lim) At-Tafakur menjadi anggota mentoring. Aku sengaja memilih bagian syiar agama islam agar aku tak terlalaikan. Saat futur nantinya ada yang memtivasi dan mengingatkan. Tak dipungkiri aku manusia biasa yang sangat butuh siraman rohani setiap saat, butuh bimbingan, butuh motivasi dan dukungan. Aktif di kegiatan kampus memiliki kelebihan tersendiri di bandingkan kita hanya sekedar menjalani kuliah. Aku bergabung bersama mereka dengan harapan dapat memiliki kemampuan memimpin, manajemen waktu, komunikasi dan semua bisa kudapati di sini.
Setelah beberapa bulan di kampus aku mendapat kabar bidik misi akan diumumkan pada hari itu namun ternyata hanya isu belaka. Keesokan harinya lagi lagi salah satu temanku mengabarkan ada pengumuman. Setelah kucari di mading fakultas ternyata tidak ada. Lima belas menit kemudian salah satu pegawai bagian registrasi di rektorat menghubungiku dan memberitahu bahwa aku dan temanku lulus bidik misi. Begitu sejuk angin yang membelai kami di meja bundar hijau di samping UPT perpustakaan sebelah barat itu.
Aku pulang membawa kabar bahagia kepada ayah. Ia ikut bahagia mendengar ceritaku. Mimpiku yang ke-11 terwujud dari 100 mimpi yang kutulis di diary ketika lulus SMA, menjadi sebuah memoar mendapat beasiswa bidik misi. Setelah pengumuman kelulusan bidik misi aku ikut menghadiri perkumpulan-perkumpulan bidik misi. Aku bertemu dengan bangga bisa berada dalam lingkaran ribuan mahasiswa yang berprestasi dan memiliki semangat membara yang sama.
Namun ada haru yang menghampiri. Sampai saat ini ibu belum juga pulang. Kami tak tahu bagaimana kabar ibu sekarang. Di mana ia. Kami tak tahu. Aku bertekad bila ibu berjuang di sana maka aku juga harus berjuang di sini menjadi yang terbaik, menjadi mahasiswi yang dapat diandalkan dan dapat memberikan kontribusi yang nyata bagi orang lain.
Langit masih kelabu bahkan hitam pekat. Sembari ingin menorehkan rasa duka padaku. Tapi langit tak pernah ragu pada malam. Akan ada pagi yang menyambut ria nantinya. Ibu... masih ada noktah-noktah harapan itu, harapan kau akan kembali pulang dengan senyum terindahmu. Allah... Sampaikan salamku padanya lewat angin yang berhembus.
Seketika itupun, kakak laki-lakiku menelpon, menanyakan posisiku di mana. Syukur aku telah baca tuntas cerita temanku. Tak buyar dalam konsentrasiku aku mengisak haru, tak dapat kubendung air mata ini. Perlahan ia jatuh dan mengalir di pipiku. Suaruku yang isak terdengar jelas di telpon.
Jangan ragu! Episode langit buram tak menjanjikan tak adanya cahaya. Semoga seorang yang dinanti kembali pulang. Puisi. Ya, itulah puisi Allah yang tertulis pada lembaran awan, angin menggiringnya ke pinggir senja, mengubahnya menjadi hujan dan ada seikat pelangi yang telah diuntai indahnya. Aamiin yaa Rabb.
-kisah sahabat ana-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar