Angin berhembus lembut
membelai wajahku. Kutatap langit yang masih kelabu. Kesejukan embun dan kicauan
burung merdu ikut mewarnai indahnya pagi. Aku segera ke dapur untuk mencuci
piring dan membereskan ruangan yang berantakan itu. Seketika itupun ayah
memanggilku dengan nada keras hingga terdengar oleh tetanggaku. Merekapun ikut
memanggil agar aku cepat menuju ayah. Ayah menyuruh untuk mengisi bak mandi.
Satu pekerjaan belum usai pekerjaan yang lain menunggu untuk segera disentuh itu
sebabnya ayah memanggilku.
Ayah, sosok laki-laki
dengan tipe keras.
Keras saat berkata maupun bersikap namun tegas. Di rumah aku
menggantikan posisi ibu dalam keluargaku. Membersihkan rumah, mengisi bak mandi
dengan air sumur menggunakan timba, mencuci piring, mencuci pakaian adik
perempuanku menjadi pekerjaan rutin. Ya, pekerjaan rutin yang biasanya
dikerjakan oleh seorang ibu rumah tangga.
Ah, aku teringat sosok
ibu seorang yang kurindukan, yang jauh di sana. Di Arab Saudi. Berjuang melawan ombak kekerasan majikannya.
Ia dikabarkan meninggal dunia karena gantung diri. Namun aku dan keluargaku
tetap tidak percaya karena surat yang dikirim oleh majikannya seperti surat
ilegal. Palsu! Tanpa ada bukti ibu meninggal gantung diri. Aku tak akan habis
pikir dan tidak akan pernah percaya ibuku seperti itu. Aku yakin ibu orangnya
baik. Ia paham agama dan syariat. Tak mungkin ia berani gantung diri, salah
satu perbuatan yang Allah murkai.
Aku percaya dengan
kontak batin. Bila memang ibu telah tiada, tentu ada bisikan hatiku sebagai
pertanda. Tapi sungguh, aku merasa ia masih bernafas saat nafas kuhembuskan. Aku
percaya, masih ada getar degupan jantungnya. Setiap orang yang mengetuk pintu,
berharap ibu yang berada di luar sana. Setiap aku bangun, berharap mata ini
terbuka dengan langsung meliat sosoknya. Aku tetap menunggunya hingga saat ini.
Kidung doa tak pernah kulalaikan usai sholat, hujan, hari jumat, dan antara
adzan dan iqomah. Aku sengaja memilih waktu-waktu terijabahnya doa.
Tak peduli
bagaimana rupa ibu sekarang. Tak peduli apapun yang ia bawa. Aku tak lagi mengharapkan
uang darinya. Hal terpenting ia kembali ke keluargaku. Harapan itu terus
bergema dengan sebongkah keyakinan bahwa ibu pasti pulang suatu saat nanti.
Namun ketakutanku semakin menjadi saat terngiang dalam benak bila nanti Allah
memanggilku lebih dulu, menghadap-Nya. Aku takut bila tak bertemu dengan ibu
kembali. Terakhir bertemu dengannya saat kenaikan kelas ke kelas 2 SMP. Di saat
itupula aku harus memaksa rela berpisah dengannya. Aku ingat betul saat ia
melambaikan tangan perpisahan.
Oh Ibu... kau
bilang ingin satu tahun di sana tapi sampai 4 tahunpun kau tak kunjung pulang...
Terakhir suaranya kudengar via HP saat
pulang sekolah kelas X SMA, suaranya dengan volume kecil, lebih tepatnya
seperti orang berbisik. Seperti penuh
ketakutan bila ketahuan oleh majikannya. Ia titip pesan agar tetap belajar, menjaga
adik dengan baik dan beliau menyuruhku agar tidak mengkhawatirkannya. Tapi
bagamana mungkin aku dan ayah tidak khawatir bila seperti ini?
Aku pernah ditanya
oleh salah satu teman dekatku, “Mengapa ibumu yang pergi bukan ayahmu?.” Lalu
aku hanya menjawab, “Ibu yang meminta agar ia yang bekerja di Arab Saudi, ayah
melarang tapi ibu hanya minta itu saja, jadi ayah mengizinkan dengan berat
hati.” Temanku lalu hanya mengangguk tanda mengerti.
Banyak yang
mengerti dan banyak pula yang tidak mengerti perihal pekerjaan sebagai TKI atau
TKW. Aku tidak tahu apa yang ada di kepala mereka, mereka yang banyak
meremehkan dan menganggap sebagai pekerjaan yang “ndak banget”. Aku tidak suka orang seperti itu. Para TKI dan TKW
telah berbuat suatu yang bermanfaat dan mulia, suatu pekerjaan dengan
perjuangan lebih dan rela berpisah dengan keluarganya. Ia pergi berarti telah siap
dengan bentakan, kekerasan, kekejian dan perbuatan-perbuatan jahat lainnya yang
sering kita saksikan di layar televisi. Jangan salah TKI dan TKW mampu
meningkatkan kesejahteraan rakyat di suatu negara karena ia dapat meningkatkan
devisa negara. Apa ada yang janggal dan keliru dari mereka sehingga harus
dianggap remeh dan rendah?
Aku dan keluargaku
hidup sederhana namun bahagia. Setiap hari selalu ada bunga tawa dari adik
untukku dan ayah. Kami sudah terbiasa hidup tanpa ibu. Ditinggal sejak kelas 2
SMP dan adikku berumur 2 tahun membuatku tetap tegar. Namun di balik ketegaran
dan senyumku aku sebenarnya rapuh. Hanya Allah yang mengetahui semuanya. Aku
hanya tak ingin menambah kesedihan mereka ditinggal ibu dengan melihatku
bersedih. Kujalani hidup semampuku karena aku yakin Allah memberikan ujian
bukan di luar batas kemampuanku.
Ayah seorang
honorer di sekolah dasar dekat dengan rumahku, sedangkan aku sebagai siswi
kelas 3 SMA. Aku dan ayah membuka les private
di rumah. Ayah membuka les dari 14:00-16:00 WITA untuk 5 siswa SD sedangkan
aku dari 19:00-21:00 WITA untuk 3 siswa kelas VII SMP dan 5 siswa kelas X SMA.
Kami hidup dengan upah kursus yang tak seberapa. Adik yang masih TK sering ikut
les dan bahkan sering mengganggu siswa-siswa yang sedang belajar. Sehingga tak
heran ia dikenal nakal namun ia bisa menghafal perkalian 1 sampai 10, bisa
menulis nama-nama benda dan memiliki kemampuan membaca yang setara dengan anak
kelas 2 sekolah dasar.
Tak terasa kini
semester dua. Mendekati ujian nasional SMA membuatku tersadar dan mulai kebingungan
bagaimana mengatur waktu. Bagaimana mungkin aku bisa menyelesaikan pekerjaan
rumah sebanyak itu sementara aku harus les setiap hari untuk mempersiapkan
ujian. Satu minggu tetap melakukan pekerjaan rutinku, tetap mengisi les
adik-adik SMP dan SMA waktu malam hari dan akhirnya aku jatuh sakit. Sementara
3 minggu lagi aku ujian nasional. Sakit maag yang kuderita saat ini lebih parah
dari sakit maag sebelumnya. Aku merasa perutku diremas-remas. Aku terpaksa diopname di salah satu rumah sakit
terdekat.
Aku tak merasa
sedih dengan sakit ini namun aku haru saat begitu banyak yang datang
mengunjungiku. Kulihat ayah dengan setianya menungguku di rumah sakit ini, dik
manis yang selalu riang di dekatku, keluargaku, tetanggaku, guru-guruku,
teman-teman sekolahku dan adik-adik les yang memotivasiku untuk sembuh. Ah,
inilah arti persaudaraan, saat saudara yang satu merasakan sakit maka yang lain
ikut merasakan. Bagai tubuh manusia, saat satu organ yang terluka maka yang
lain ikut merasakan sakit, saat kaki tersandung dengan cepat mulut mengatakan “astagfirullah atau aduh”.
Aku bersyukur
telah mendapat dispensasi dari sekolah tidak mengikuti pembelajaran selama 2
minggu sehingga aku tetap bisa mengikuti ujian nasional meski dalam keadaan
masih sakit. Biaya les dan sekolahku gratis karena beasiswa yang kudapatkan
dari sana. Jadi aku tidak terlalu memusingkan biaya ketika sekolah di SMA.
Jauh sebelum ujian nasional aku telah memikirkan mau
melanjutkan kuliah kemana. Aku ingin ke perguruan tinggi impianku
seperti yang kutulis dalam diary. Ada
empat jalur yaitu jalur SNMPTN undangan, SNMPTN tulis, SMUD dan mandiri. Aku
mengikuti SNMPTN Undangan yang pengumumannya pada 28 Mei 2012 namun gagal dan
harus bersyukur karena rencana Allah pasti yang terbaik untukku. UN (Ujian Nasional) dilaksanakan
pada 16-19 April 2012 dan pengumuman telah usai pada 24 Mei 2012. Aku lulus UN dan mencoba lagi masuk jalur tulis. Ujiannya dilaksanakan 2 hari yaitu pada 12-13
Juni 2012 dan pengumuman pada 7 Juli 2012. Jalur ini membuatku deg-degan saat
membuka situs pengumuman dan alhamdulillah
aku lulus di Universitas Mataram, universitas dambaanku. Aku lulus di FMIPA
program study matematika.
Tiada daya dan upaya hanya kepadamu aku kembali. Terimaksih ya Allah,
syukurku pada-Mu takkan terhenti karena puisi-Mu begitu indah pada saatnya.
Tuntun aku agar terus mendekati-Mu dan takkan pernah berbalik arah menjauhi-Mu.
Keep istiqomah!
Tidak
ada sedikitpun masalah yang menjadi beban saat aku masuk perguruan tinggi namun
yang kutakutkan adalah biaya saat kuliah. Daftar ulang untuk prodiu adalah Rp
1.030.000, sedangkan tabungan ayahku belum mencapai itu. Akhirnya terpaksa ia
minjam di paman.
Aku mulai berpikir
apa yang bisa aku lakukan untuk meringankan beban ayah dan aku tetap kuliah.
Aku yakin ketika kita berniat untuk menuntut ilmu yang merupakan anjuran Allah,
ketika kita mempelajari ilmu yang merupakan cahaya-Nya, ketika kita meneguhkan
agama-Nya dengan menuntut ilmu maka Allah akan meneguhkan kedudukan kita pula.
Aku yakin itu. Aku mulai semangat kembali sembari memikirkan untuk memperluas
jaringan les karena hanya les andalanku. Akupun mulai membuka kelas baru lagi
untuk 2 siswa SMP yang berminat. Dengan jadwal yang full dari senin hingga senin lagi. Malam hari selalu dipakai untuk
les sampai jam 9 membuatku sakit kembali. Kini sakitku tak berbeda jauh dengan
sebelumnya. Maagku kambuh lagi dan akhirnya untuk sementara waktu aku liburkan
adik-adik les selama seminggu.
Daftar ulang pada
10 Juli 2012 dan aku mendapat kabar bahagia bahwa UNRAM membuka kembali peluang
pengajuan Bidik Misi. Aku berulang kali membaca sms dari salah satu temanku. Setelah mempersiapkan berkas yang
diminta, aku langsung menemui bagian registrasi di rektorat. Allah menjawab do’aku
dengan memberikan kesempatan ini lagi. Ketika masih di SMA, aku dan teman-teman
mengalami kesulitan mengajukan bidik misi karena ada penggantian kepala sekolah
sehingga data kepala sekolah lama di pusat belum bisa diganti dengan data
kepala sekolah baru.
Allah punya rencana yang tak terduga. Kami harus tetap percaya akan
janji Allah bahwa rezeki tak akan tertukar.
Usai daftar ulang,
dua minggu kemudian ospek atau karisma di universitas. Aku memaksakan diri
untuk ikut. Aku mulai mengukir sejarah di masa orientasi ini. Perkenalan rektor
dan jajarannya hingga beberapa UKM yang ada special
for maba, katanya. Karena banyak perkenalan, ospek di laksanakan 2 hari
yaitu pada 27-28 Agustus 2012. Mahasiswa lebih banyak duduk yang membuat pegal,
kesemutan dan gerah. Walau begitu menyenangkan juga bisa mengenal universitas
sendiri apalagi baru pertama kali berkumpul dengan orang sebanyak itu, dengan
ribuan mahasiswa yang bisa sampai di sana dengan perjuangan pula. Aku juga merasa
senang bertemu dengan beberapa kakak
tingkat waktu SMA dan SMP. Kurasakan kembali ukhwah itu begitu erat.
Sampai pada masa
orientasi di tingkat fakultas dengan nama BSO (Basic Science Orientation) yang
dilaksanakan 3 hari yaitu pada 29-31 Agustus 2012. Aku teringat saat mendapat
plakat penghargaan menjadi miss terkontroversial
dengan baju batik cokelat yang kukenakan malam inagurasi itu. Menjadi
terkontroversial, sejarah aku tak mau menjalankan hukuman skot jump waktu terlambat datang gara-gara minta tanda tangan kakak
koordinator lapangan di tengah jalan raya yang lelah kucari dengan temanku.
Aku beralasan
bahwa bila aku skot jump, aku takut
akan keram pada betis sesuai dengan penjelasan ibu guru waktu SMA. Alasanku tak
logis memang hanya disuruh lima kali kemungkinan tak akan keram dengan jumlah
yang minim itu. Tapi aku tetap pada keputusanku. Aku lalu melobi kakak BEM agar
memberikan hukuman yang lain. Akhirnya mereka menyuruhku lari 3 putaran mengelilingi
tempat BSO yang lumayan luas dan membuatku bercucuran keringat. Ya, hukuman
yang lebih berat dari skot jump. Tak
hanya itu selesai lari aku langsung
disambut oleh olesan abu kayu oleh kakak BEM yang lain. Sungguh menyedihkan
memang namun aku merasa di sana harus benar-benar disiplin, sabar, kuat dan
bersyukur. Bersyukur dengan pembinaan karakter seperti itu. Semua adalah ladang
ilmu maka tak bisa aku menolak. Penolakanku itu membuatku dikenal oleh hampir
semua mahasiswa baru FMIPA dan kakak-kakak BEM.
Sebelum itu, hari
terakhir BSO menjadi hari yang unik. Tanganku ditarik oleh salah satu kakak BEM
yang menggunakan jilbab warna abu muda. Aku tak tahu apa salahku hingga dia
benar-benar memasang wajah amarah padaku. Ya, aku lalu teringat, dia kakak yang
pernah menyuruhku skot jump.
Tiba-tiba kakak yang lain berdatangan dan terjadi perkelahian panjang lantaran
mahasiswa baru banyak yang tidak disiplin.
Itu artinya divisi
acara yang tidak bertanggungjawab menurut mereka. Saling tuntut dan saling
lempar kata-kata dengan volume tinggi. Akhirnya terjadi perkelahian hingga
dadaku ikut terpukul oleh salah kakak yang menyuruhku skot jump itu. Aku tak tahu apa itu benar-benar sengaja atau tidak?
Tapi aku tahu perkelahian mereka hanya sebuah sandiwara belaka namun apakah dengan
mengorbankanku agar menjadi kelihatan lebih serius dan seru? Seketika itupun
aku jatuh pingsan lalu mereka panik luarbiasa. Aku langsung lemas dan tak bisa
bicara sedikitpun dengan banjir air mata. Ah, ingat, ini hanya sandiwara. Mereka
kemudian membawaku ke ruang khusus. Dengan wajah panik kakak yang memukulku
memeluk dengan erat dan ikut menangis. Mungkin merasa bersalah. Aku yakin ini
tak sengaja. Dan lucunya mereka mencoba menghiburku dengan gaya-gaya lucu, memeperkenalkan
diri kembali di depanku, tertawa riang dan lainnya.
Kakak-kakak yang
terkesan kasar ternyata begitu halus dan baik, muncullah siapa mereka di sana.
Aku bersyukur lebih tahu dari teman-teman mahasiswa baru. Tak bisa dipungkiri
bertemu dengan kakak yang kelihatan judes membuat mata seolah-olah enggan menatapnya
dan ingin segera menghindari. Namun hati harus selalu disetting agar terhindar dari sifat seperti itu.
Itu sekelumit
tetang BSO sebagai masa perkenalan di FMIPA UNRAM. Setelah melewati masa-masa
itu kami mulai terjun ke dunia perkuliahan. Dunia yang berbeda dari dunia study sebelumnya. Yang dulunya
menggunakan seragam, kini menggunakan pakaian yang bebas asal rapi dan sopan.
Yang dulunya diajarkan oleh guru, kini diajarkan oleh seorang dosen. Yang
dulunya bernama sekolah, kini kampus. Yang dulunya anak mami, kini anak kosan. Dan
banyak lagi “yang dulunya-kini”.
Dinamika kampus
membuatku harus pandai mencari teman, bukan untuk membatasi teman namun teman
juga bisa menentukan sikap, karakter bahkan nasib atau masa depan kita. Aku
bertemu dengan ribuan mahasiswa yang memiliki karakter dan kebiasaan
masing-masing. Dari berbagai penjuru, berbagai agama, keluarga dan lainnya.
Heterogen sebutannya. Aku bertemu dengan ribuan mahasiswi dari yang jilbaber sampai yang you can see. Dari memakai rok hingga
memakai jeans ketat. Bertemu dengan mahasisiwa dengan gaya rambut berdiri
sampai yang di belah dua, berpakaian kaos berkerah sampai kemeja berkerah. Semua
ada.
Aku bergabung di
kumpulan mahasiswa program study matematika yaitu Gamatika (keluarga matematika)
di bagian kerohanian dan di MT (Majelis Ta’lim) At-Tafakur menjadi anggota
mentoring. Aku sengaja memilih bagian syiar agama islam agar aku tak
terlalaikan. Saat futur nantinya ada
yang memtivasi dan mengingatkan. Tak dipungkiri aku manusia biasa yang sangat
butuh siraman rohani setiap saat, butuh bimbingan, butuh motivasi dan dukungan.
Aktif di kegiatan kampus memiliki kelebihan tersendiri di bandingkan kita hanya
sekedar menjalani kuliah. Aku bergabung bersama mereka dengan harapan dapat
memiliki kemampuan memimpin, manajemen waktu, komunikasi dan semua bisa
kudapati di sini.
Setelah beberapa
bulan di kampus aku mendapat kabar bidik misi akan diumumkan pada hari itu
namun ternyata hanya isu belaka. Keesokan harinya lagi lagi salah satu temanku
mengabarkan ada pengumuman. Setelah kucari di mading fakultas ternyata tidak
ada. Lima belas menit kemudian salah satu pegawai bagian registrasi di rektorat
menghubungiku dan memberitahu bahwa aku dan temanku lulus bidik misi. Begitu
sejuk angin yang membelai kami di meja bundar hijau di samping UPT perpustakaan
sebelah barat itu.
Aku pulang membawa
kabar bahagia kepada ayah. Ia ikut bahagia mendengar ceritaku. Mimpiku yang
ke-11 terwujud dari 100 mimpi yang kutulis di diary ketika lulus SMA, menjadi sebuah
memoar mendapat beasiswa bidik misi. Setelah pengumuman kelulusan bidik misi
aku ikut menghadiri perkumpulan-perkumpulan bidik misi. Aku bertemu dengan
bangga bisa berada dalam lingkaran ribuan mahasiswa yang berprestasi dan
memiliki semangat membara yang sama.
Namun ada haru
yang menghampiri. Sampai saat ini ibu belum juga pulang. Kami tak tahu
bagaimana kabar ibu sekarang. Di mana ia. Kami tak tahu. Aku bertekad bila ibu
berjuang di sana maka aku juga harus berjuang di sini menjadi yang terbaik,
menjadi mahasiswi yang dapat diandalkan dan dapat memberikan kontribusi yang
nyata bagi orang lain.
Langit masih
kelabu bahkan hitam pekat. Sembari ingin menorehkan rasa duka padaku. Tapi langit
tak pernah ragu pada malam. Akan ada pagi yang menyambut ria nantinya. Ibu...
masih ada noktah-noktah harapan itu, harapan kau akan kembali pulang dengan
senyum terindahmu. Allah... Sampaikan salamku padanya lewat angin yang
berhembus.
Seketika itupun, kakak
laki-lakiku menelpon, menanyakan posisiku di mana. Syukur aku telah baca tuntas
cerita temanku. Tak buyar dalam konsentrasiku aku mengisak haru, tak dapat
kubendung air mata ini. Perlahan ia jatuh dan mengalir di pipiku. Suaruku yang
isak terdengar jelas di telpon.
Jangan ragu! Episode langit buram tak menjanjikan tak adanya cahaya.
Semoga seorang yang dinanti kembali pulang. Puisi. Ya, itulah puisi Allah yang
tertulis pada lembaran awan, angin menggiringnya ke pinggir senja, mengubahnya
menjadi hujan dan ada seikat pelangi yang telah diuntai indahnya. Aamiin yaa
Rabb.
-kisah sahabat ana-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar